Seiring
dengan perkembangan jaman, dengan meningkatnya arus globalisasi secara tidak
langsung berdampak pada pola hidup manusia seperti pada pola makan manusia.
Kini, manusia cenderung banyak memilih makanan siap saji (fast food)
dibandingkan dengan yang diolah sendiri. Ketidakseimbangan komposisi kandungan
gizi pada fast food cenderung membuat
jalannya metabolisme dalam tubuh kurang maksimal dan menimbulkan berbagai
penyakit seperti Obesitas.
Obesitas
merupakan penyakit yang diakibatkan karena adanya penumpukan lemak yang
berlebihan secara menyeluruh di bawah kulit dan jaringan lainnya di dalam
tubuh. Penyakit ini dapat timbul kapan saja dan sering terjadi pada saat usia
remaja. Obesitas merupakan peningkatan total lemak tubuh, yaitu apabila
ditemukan kelebihan berat badan >20% pada pria dan >25% pada wanita
karena lemak (Ganong, 2003) .
Menurut
(Purwati, 2007) , berdasarkan kondisi
selnya, obesitas digolongkan dalam beberapa tipe yaitu:
- Tipe Hiperplastik, obesitas yang terjadi karena jumlah sel yang lebih banyak dibandingkan kondisi normal, tetapi ukuran sel-selnya sesuai dengan ukuran sel normal terjadi pada masa anak-anak.
- Tipe Hipertropik, obesitas yang terjadi karena ukuran sel yang lebih besar dibandingkan ukuran sel normal. Obesitas tipe ini banyak menjangkit orang dewasa.
- Tipe Hiperplastik dan Hipertropik kegemukan tipe ini terjadi karena jumlah dan ukuran sel melebihi normal. Kegemukan tipe ini dimulai pada masa anak - anak dan terus berlangsung sampai setelah dewasa.
Selain
itu jenis obesitas juga dapat digolongkan berdasarkan penyebaran lemak didalam
tubuh, yaitu:
- Tipe Adroid, ditandai dengan pertumbuhan lemak berlebih dibagian tubuh sebelah atas yaitu sekitar dada, pundak, leher, dan muka. Umumnya dialami pria dan wanita yang sudah menopause. Lemak yang menumpuk merupakan lemak jenuh.
- Tipe Genoid, ditandai dengan penimbunan lemak pada bagian bawah, yaitu sekitar perut, pinggul, paha, dan pantat. Umumnya banyak diderita oleh perempuan. Jenis timbunan lemaknya adalah lemak tidak jenuh.
Jumlah
prevalensi obesitas di dunia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun
1980, jumlah individu yang menderita obesitas adalah sebanyak 857 juta jiwa.
Jumlah ini terus meningkat hingga pada tahun 2013 jumlah individu yang
menderita obesitas mencapai angka 2,1 milyar jiwa. Secara umum, prevalensi
obesitas pada wanita lebih tinggi dibandingkan pria. Saat ini, obesitas tidak
hanya menyerang orang dewasa saja, tetapi juga anak-anak. Sebanyak 14% dari total populasi anak-anak di dunia
dilaporkan mengalami kelebihan berat badan atau obesitas (Marie, et
al., 2014) .
Di
Indonesia sendiri, prevelansi obesitas pada pria dan wanita dewasa
masing-masing telah mencapai jumlah 5% - 10% dari populasi. Sementara,
prevelansi obesitas pada anak-anak dan remaja telah mencapai 5% - 7,5% dari
populasi. Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat di tahun yang akan
datang. Peningkatan besar dalam obesitas selama 33 tahun terakhir diduga
disebabkan oleh berbagai faktor, seperti peningkatan asupan kalori, perubahan
dalam komposisi diet, penurunan tingkat aktivitas fisik, dan perubahan
microbiome dalam usus (Marie, et al., 2014) .
Salah satu cara untuk mengatasi obesitas adalah dengan konsumsi serat pangan secara teratur. Serat
pangan merupakan karbohidrat dan lignin yang tidak dapat dicerna oleh enzim
pencernaan manusia yang dapat diperoleh dari tanaman, khususnya di bagian
dinding sel yang setidaknya terdiri dari 95% serat. Karbohidrat yang termasuk
serat pangan diantaranya adalah selulosa, hemiselulosa, pektin, lignin, gum,
β-glucan, fruktan dan pati resisten. Serat pangan ternyata tidak hanya penting
untuk fungsi saluran pencernaan, tetapi juga dapat membantu mencegah dan
mengatasi berbagai penyakit, salah satunya obesitas (Gropper & Smith,
2012)
Asupan
serat pangan, baik dari makanan maupun suplemen dapat memberikan manfaat dalam
pengurangan berat badan dan manfaat kesehatan lainnya. Manfaat tersebut dapat
muncul dengan mengonsumsi serat 20-27 gram/hari dari makanan atau 20 gram/hari
dari suplemen. Dalam mengatasi masalah berat badan, serat berperan sebagai
penghambat fisiologis untuk asupan energi dengan setidaknya menggunakan tiga
mekanisme (Heaton, 1973) :
- Serat menggantikan energi dan nutrisi yang tersedia dari diet.
- Serat meningkatkan intensitas mengunyah yang membatasi asupan makanan dengan mendorong sekresi air liur dan asam lambung, sehingga terjadi perluasan perut dan meningkatkan rasa kenyang.
- Serat mengurangi efisiensi penyerapan usus halus.
Manusia
cenderung mengkonsumsi makanan dengan berat yang konstan. Konsumsi makanan dengan energi yang lebih
rendah per satuan berat dan dalam jumlah yang konstan dapat mempromosikan
penurunan berat badan. Makanan tinggi serat memiliki kepadatan energi yang jauh
lebih rendah dibandingkan dengan makanan tinggi lemak. Dengan demikian, makanan
tinggi serat dapat menggantikan sumber energi lainnya. Sifat bulky dan viskositas yang tinggi pada
serat pangan bertanggung jawab untuk mempengaruhi perasaan jenuh dan kenyang
saat makan. Konsumsi makanan kaya serat biasanya akan disertai dengan upaya
peningkatan intensitas dan waktu pengunyahan, yang menyebabkan peningkatan rasa
kenyang disertai penurunan tingkat konsumsi makanan. Konsumsi serat secara
teratur dapat membantu mengendalikan keseimbangan energi pada tubuh. (Slavin,
2008) .
Pada
seseorang yang telah terkena obesitas melalui pola konsumsi serat selain dapat
mengontrol juga dapat menurunkan berat badan, karena kandungan pektin, beta
glucans, gum serta beberapa hemiselulosa yang terdapat dalam serat larut air
(soluble fiber) dimana mampu menahan air dan dapat membentuk cairan kental
dalam saluran pencernaan, sehingga terjadi reduksi penyerapan zat makanan pada
bagian proksimal akibat serat yang mampu menunda pengosongan makanan dari
lambung dan menghambat bercampurnya enzim pencernaan dengan isi saluran cerna serta
dengan adanya cairan kental tersebut dapat mengurangi kandungan asam amino
dalam tubuh melalui penghambatan peptida usus (Winarsi, 2001) .
Untuk menurunkan berat badan yang
berlebihan (obesitas) makanan yang mengandung serat kasar tinggi dapat menjadi
solusinya. Mekanisme yang terjadi dalam peranan tersebut adalah absorbsi zat
makanan akan berkurang akibat makanan dalam saluran pencernaan akan tinggal
dalam waktu relatif singkat, memberikan rasa kenyang sehingga menurunkan
frekuensi konsumsi kuantitas makanan, serta mengandung kalori, gula dan lemak
dalam jumlah rendah
Referensi
Ganong, F., 2003. Buku
Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Heaton, K. W., 1973.
Food Fibre As An Obtacle to Energy Intake. The Lancet, Volume 2, pp.
1418-1421.
Joseph, G., 2002.
Manfaat Serat Makanan Bagi Kesehatan Kita. Makalah Falsafah Sains, pp.
23-31.
Marie, N. et al.,
2014. Global, regional, and national prevalence of overweight and obesity in
children and adults during 1980–2013 : a systematic analysis for the Global
Burden of Disease Study 2013. The Lancet Journal, 384(9945), pp.
766-781.
Purwati, 2007. Perencanaan
Menu Untuk Penderita Kegemukan. Jakarta: Penebar Swadaya.
Slavin, J. L., 2008.
Position of the American Dietetic Association : Health Implications of Dietary
Fiber. Journal of American Dietetic Association, Volume 108, pp.
1716-1731.
Winarsi, H., 2001.
Peran Serat Makanan (Dietary Fiber) Untuk Mempertahankan Tubuh Sehatt. Makalah
Falsafah Sains, pp. 20-30.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar