Malnutrisi menjadi masalah tersendiri di
dunia. Saat ini, diperkirakan bahwa hampir 870 juta orang dari 7,1 miliar orang
di dunia mengalami kekurangan gizi. Dari jumlah tersebut, sekitar 97% atau
sebesar 852 juta tinggal di negara berkembang dan sebanyak 16 juta orang hidup
di negara maju. Jumlah penderita kekurangan gizi menurun hampir 30% di
Asia-Pasifik dari 739 juta jiwa menjadi 563 juta jiwa, penurunan ini disebabkan
karena kemajuan sosial-ekonomi di banyak negara di Asia-Pasifik. Jumlah
penderita kekurangan gizi di Amerika latin juga mengalami penurunan dari 65
juta pada tahun 1990-1992 menjadi 49 juta pada tahun 2010-2012. Sementara itu
di Afrika terjadi peningkatan jumlah penderita gizi buruk yang awalnya 175 juta
menjadi 239 juta orang (Sundaram, 2012).
Malnutrisi merupakan kondisi fungsi fisik
seseorang terganggu dimana ia tidak bisa mempertahankan kapasitas tubuh
alaminya, seperti pertumbuhan, kehamilan, menyusui, kemampuan belajar,
kemampuan fisik, dan kemampuan memulihkan diri dari penyakit. Malnutrisi termasuk
kelebihan dan kekurangan gizi. Istilah ini mencakup masalah-masalah seperti
terlau kurus atau terlau pendek bagi usia seseorang atau menjadi terlalu gemuk (obesitas).
Salah satu jenis malnutrisi adalah Protein
Energy Malnutrition atau Kurang Energi Protein. Protein Energy Malnutrition merupakan bentuk malnutrisi akibat dari
kurangnya konsumsi protein. Kondisi ini dapat diukur tidak hanya dari berapa
banyak makanan yang dimakan tetapi dari pengukuran fisik seperti berat atau
tinggi badan dengan usia. (WFP, 2014)
Kekurangan protein banyak terjadi
pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah. Kekurangan protein murni
pada stadium berat dapat menyebabkan kwashiorkor
pada anak di bawah lima tahun. Istilah kwashiorkor
pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Cecily Williams pada tahun 1933 ketika ia
menemukan keadaan ini di Ghana, Afrika. Dalam bahasa Ghana, kwashiorkor
artinya adalah penyakit yang diperoleh anak pertama, ketika anak kedua sedang
ditunggu kelahirannya. Kekurangan protein sering ditemukan secara bersamaan
dengan kekurangan energi yang menyebabkan kondisi yang disebut marasmus. (Almatsier, 2009)
Kwashiorkor
Kwashiorkor
sering ditemukan diderita oleh bayi dan anak kecil pada usia dua hingga tiga
tahun. Usia dua tahun merupakan usia yang sangat rawan, karena usia ini
merupakan masa peralihan dari ASI (Air Susu Ibu) ke PASI (Pengganti Air Susu
Ibu). Makanan PASI pada umumnya mengandung karbohidrat yang tinggi tetapi
kandungan proteinnya rendah. Padahal, pada usia tersebut protein sangat
dibutuhkan untuk pertumbuhan anak. (Winarno, 2004)
Kwashiorkor
jarang ditemukan pada orang dewasa. Kwashiorkor
dapat terjadi pada konsumsi energi yang cukup atau lebih. Kwashiorkor ditandai dengan adanya
gejala fisik maupun psikis. Gejala fisik yang timbul biasanya adalah
pertumbuhan terhambat, otot-otot berkurang dan melemah, rambut mudah rontok,
kulit kering dan pecah-pecah, moonface
dan edema, sedangkan gejala psikis yang terjadi adalah seperti anak menjadi
apatis, tidak nafsu makan, tidak gembira dan suka merengek. (Almatsier,
2009)
Gejala yang paling spesifik dari
penerita kwashiorkor adalah edema.
Terjadinya edema diakibatkan oleh turunnya kadar serum albumin. Hal ini selalu
terjadi pada penderita kwashiorkor. Turunnya
serum albumin akan menyebabkan turunnya tekanan osmotik darah. Sebagai
akibatnya terjadi perembesan cairan menerobos pembulu darah dan masuk ke dalam
jaringan tubuh, sehingga terjadi edema. Edema biasanya terjadi terutama pada
perut, kaki dan tangan. (Winarno, 2004)
Marasmus
Marasmus
berasal dari bahasa Yunani yang berarti
merusak. Marasmus umumnya terjadi
pada bayi usia satu tahun pertama. Marasmus
biasanya terjadi karena bayi terlambat diberi makanan tambahan. Penyakit ini
juga dapat terjadi karena penyapihan mendadak, formula pengganti ASI yang
terlalu encer dan tidak higienis atau terinfeksi gastroenteritis. Marasmus dapat berpengaruh jangka
panjang terhadap fisik dan mental yang sulit untuk diperbaiki. (Almatsier, 2009)
Marasmus
merupakan istilah yang digunakan bagi gejala yang timbul apabila anak menderit
kekurangan energi (kalori) dan kekurangan protein. Penyakit ini berbeda dengan kwashiorkor dimana penderita kwashiorkor hanya mengalami kekurangan
protein sedangkan energinya tercukupi. Penderita marasmus akan terlihat sangat kurus sedangkan penderita kwashiorkor tidak terlihat kirus. (Winarno, 2004)
Marasmus
sering ditemukan di antara kelompok sosial ekonomi rendah di sebagian besar
negara berkembang. Kasus marasmus lebih
banyak ditemukan dibandingkan dengan kwashiorkor.
Gejala yang timbul dari penyakit marasmus
seperti pertumbuhan terhambat, lemak di bawah kulit berkurang dan otot-otot
berkurang dan melemah. Pada penderita marasmus
tidak terjadi edema, tetapi seperti pada penderita kwashiorkor penderita marasmus
juga mengalami perubahan pada rambut dan kulit. Selain itu, anak akan menjadi
apatis dan terlihat seperti sudah tua. Marasmus
sering disertai dengan adanya penyakit-penyakit lain seperti tuberkulosis,
infeksi saluran pernapasan, dehidrasi serta defisiensi vitamin terutama vitamin
D dan vitamin A. (Almatsier, 2009)
REFERENSI
Almatsier, S., 2009. Prinsip Dasar Ilmu
Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sundaram, J.K. et
al., 2012. The State of Food Insecurity in the World. Rome: FAO Food and
Agriculture Organization of United Nations.
WFP, 2014. Hunger
Glossary. [Online] Available at: http://www.wfp.org/hunger/glossary [Accessed 13 September 2014].
Winarno, F.G., 2004. Kimia Pangan dan Gizi.
Jakarta: Gramedia Pustaka Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar